Terbitnya Undang-Undang Pemasyarakatan terbaru Nomor 22 Tahun 2022 pada tanggal 3 Agustus 2022 lalu, telah menggemparkan publik karena mengandung substansi yang menyamaratakan hak atas narapidana tanpa terkecuali sebagaimana termaktub dalam Undang Undang tersebut bahwa sistem pemasyarakatan terbaru dilaksanakan berdasarkan pada asas pengayoman, non diskriminasi, kemanusiaan, gotong royong, kemanidiran, proporsionalitas, kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya penderitaan, dan profesionalitas. Apabila menilik pada visi misi positif dalam Undang-Undang Pemasyarakatan terbaru ini, tentunya hal ini merupakan pergerakan atas penjunjungan tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia [HAM] sebagaimana digaungkan oleh Komisi HAM secara universal di seluruh dunia oleh Komisi HAM PBB (United Nations Commission on Human Rights UNCHR). Namun tampaknya banyak kalangan yang justru mengkhawatirkan implementasi ini sebagai ketidakseriusan pemerintah dalam menekan tindak pidana.
Remisi merupakan hak yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan kepada narapidana binaanya. Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu dan seumur hidup atau terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan putusan, yang sedang menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan (Pasal 1 angka 6 UU No. 22 Th. 2022 tentang Pemasyarakatan). UU Pemasyarakatan pada nyatanya telah memberikan suatu hak bagi narapidana yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Perlindungan konsitusional terhadap HAM dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
Namun kita semua ketahui bahwa penghukuman diberikan untuk memberikan efek jera sebagaimana adagium hukum menyebutkan "Culpae Poena Par Esto" yang memiliki arti hukuman harus setimpal dengan kejahatannya. Maka dengan memberikan HAK REMISI SAMA RATA TERHADAP SEMUA NARAPIDANA, tentu telah mendegradasi dari penegakan hukum itu sendiri. Sebab proses penegakan hukum tidak hanya sampai pada ketetapan pengadilan yang telah incracht namun juga perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi terhadap hukuman yang diterima oleh narapidana sebagai rangkaian bentuk penegakan hukum.
Korupsi merupakan delik pidana yang dikategorikan dalam "Serious Crime". Maka tentu saja penegakannya harus dilakukan dengan cara yang serius. Kejahatan Tindak Pidana Korupsi nyata-nyatanya adalah tindak pidana pencurian paling bringas sebab merugikan keuangan negara dengan jumlah yang bukan main sehingga keuangan yang sepatutnya dapat dialokasikan untuk memajukan kesejahteraan umum menjadi kabur oleh pelaku tindak pidana korupsi yang haus akan kekayaan diatas penderitaan masyarakat luas.
Tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan dengan tindak pidana lain yang bukan tergolong kejahatan luar biasa ini dipertegas pada pertimbangan butir ke satu PP No.99 Tahun 2012 menyebutkan, “bahwa tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia yang lain pun tindak pidana korupsi juga akan selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya.
Hal ini termaktub dalam Preambule ke-4 UNCAC 2003 yang menyatakan bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerja sama Internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial. UU No. 7 Tahun 2006 pun mendefinisikannya sebagai berikut, tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas Bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Maka dalam hal ini, secara harfiah pemberian remisi terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya merupakan tindakan yang sepatutnya tidak diterapkan pun dibudayakan di Indonesia. Hal ini mengingat para koruptor di negara wakanda perlu untuk diberikan efek jera demi memberantas korupsi agar tidak menjadi adat dan kebiasaaan yang nantinya kian lama akan dinormalisasi dan menjadi kebiasaan yang mendarah daging di Negara kita Indonesia tercinta ini. Sebagai generasi muda, kita memiliki tugas untuk menjadi agen perubahan yang memblokade virus korupsi mengjangkiti tanah air ini.
Komentar