Langsung ke konten utama

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA PASCA PUTUSAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT

 Undang-Undang Cipta Kerja merupakan salah satu produk hukum yang dalam realitanya telah menuai banyak pro dan kontra terkait implementasinya. Sesungguhnya memasukkan metode Omnibus Law dalam Undang-Undang Cipta Kerja merupakan hal yang tepat mengingat banyaknya permasalahan terhadap kepastian produk hukum Indonesia. Pada pokoknya metode Omnibus Law digunakan untuk mengatasi disharmonisasi dan tumpang tindih peraturan sehingga dapat mewujudkan kodifikasi peraturan perundang-undangan dengan lebih sistematis dan efektif. Tujuan utama dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja adalah untuk meningkatkan arus investasi dan menjamin kepastian hukum dalam peningkatan perekonomian nasional. 

Undang-Undang Cipta Kerja pada prakteknya telah mensinkronisasi dan mengharmonisasi 78 Undang-Undang dengan 1209 pasal yang dimuat dalam substansi tunggal. Namun karena pengimplementasinnya banyak menggugurkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (Asas Partisipasi Publik) maka pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat sepanjang dimaknai tidak dilakukannya perbaikan dalam waktu 2 tahun.

Artinya bahwa Mahkamah Konstitusi mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk membuat ulang Undang-Undang Cipta Kerja karena proses pembuatannya sebelumnya dinyatakan tidak berdasarkan pada pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang - Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasca putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat, muncul berbagai argumen mengenai status keberlakuan dari UU Ciptaker. Beberapa pakar hukum menyatakan bahwa UU Ciptaker masih berlaku selama 2 tahun perbaikan. Namun tak sedikit pula yang menyatakan bahwa UU Ciptaker dibekukan sampai adanya perbaikan yakni dengan memasukkan Metode Omnibus Law kedalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) dimana dalam hal ini telah dijawab pemerintah dengan memperbarui UU P3 dan memasukkan Metode Omnibus Law di dalamnya.

Ahli Ilmu Perundang-Undangan, Prof. Maria Farida, menyatakan bahwa sebuah produk hukum peraturan perundang-undangan haruslah mengandung Daya Laku dan Daya Guna. Daya Laku berlaku tepat saat sebuah Undang-Undang itu diundangkan. Sementara Daya Guna akan bergunalah suatu undang-undang apabila peraturan pemerintah pun pelaksananya diterbitkan sehingga suatu Undang-Undang dapat dijalankan dan memberi kepastian hukum bagi masyarakat.

Namun, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciptaker. Maka kemudian proyek-proyek yang berjalan atas dasar UU Ciptaker menjadi mandek dan tidak berdaya guna sejak putusan MK diterbitkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SISTEM POLITIK KEKERABATAN YANG MENGUATKAN DINASTI DALAM KONTES PEMILU DI INDONESIA

Hola readers!           Kehadiran politik kekerabatan di negara demokrasi seperti Indonesia sesungguhnya bukan fenomena baru di masyarakat lokal maupun nasional. Politik kekerabatan yang membangun dinasti politik di negara demokrasi dapat berakibat pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan politik yang menunjukkan kecacatan dalam representasi demokratis yang disebut dengan authority bear power . Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Mosca bahwa setiap kedudukan sosial menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, [1]  bahkan dikala posisi politik sepatutnya terbuka bagi semua orang, namun kedudukan keluarga penguasa akan memperoleh keuntungan yang lebih besar seperti contohnya mendapatkan nomor urut 1 di kertas suara.           Tidak menampik kemungkinan fenomena diatas menjadi budaya apabila terus-menerus dibiarkan. Di dalam bentuk negara demokrasi yang ideal, sistem kekerabatan tentu bukan menjadi anjuran bagi peserta p

THE UNITED STATES PRESIDENTIAL ELECTION MODEL

     U.S presidential contest is unique in the world because of the magnitude of the office, every presidential election is historical and impacts upon the rest of the world. The formal criteria for becoming president as set forth in article 11, Section I of the Constitution are threefold : natural born citizen, at least 35 years old, and a resident of the United States for 14 years. But the informal criteria are numerous and include political experience, personal charisma, fundraising, and audience adaptation.     Presidential contest extends beyond the traditional three-month campaign between Labor Day and November every four years. The contest has become continual and a matter of lifelong training and maneuvering. The right person is not just found but is created, demonstrated, and articulated to the American public. The strategies and tactics presidential candidates use to present themselves and to communicate with American public are of vital importance and are the focus of this c

Kebolehan Mantan Napi Korupsi Memeriahkan Kontestasi Pemilu Legislatif 2024 di Indonesia

     Korupsi nampaknya selalu menjadi agenda reformasi yang tidak henti-hentinya digalakkan di Indonesia. Sejak kejatuhan Era Suharto Tahun 1998 hingga saat ini, pemerintah selalu mengupayakan untuk memberantas tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi penyakit umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Menurut Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan bahwa, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia dalam perankingan Internasional.       Kasus korupsi seringkali dan marak terjadi dilakukan oleh para politisi yang menduduki baik pada tingkatan pejabat eksekutif, hingga legislatif. Baru-baru ini terkuak kasus korupsi yang dilakukan oleh 2 Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju bentukan Presiden Jokowi, Johnny G. Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informatika dan Syahrul Yasin Limpo selaku Men