Topik mengenai besaran persentase parliamentary threshold adalah salah satu isu politik yang selalu menjadi perbincangan hangat dan tak luput dari sorotan para penggiat demokrasi. Parliamentary threshold sendiri adalah salah satu pengaturan dalam sistem pemilihan umum legislatif di Indonesia yang mengatur perihal ambang batas akumulasi suara partai dengan perolehan suara secara nasional yang dapat diterima masuk dalam parlemen sehingga partai tersebut dapat mengirimkan calon anggota legislatif yang merepresentasikan partainya dalam parlemen nasional. Pengaturan ini dibuat dengan motif penyederhanaan partai karena negara kita memberlakukan sistem multipartai dimana terdapat banyak sekali partai sebagai bentuk dukungan negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dengan pemberian akses dalam pemilihan umum sebagai bentuk kebebasan berpolitik kepada rakyat melalui jalur pendirian partai politik dan kebebasan partisipasi dalam suatu organisasi kemasyarakatan.
Namun, pada prakteknya, pemberlakuan parliamentary threshold ini dirasa telah merugikan dan menciderai konsep demokrasi itu sendiri, terutama bagi aktivis demokrasi dan pemilu serta kalangan calon legislatif sebagai anggota partai politik yang baru saja bergabung dalam pertarungan pemilihan umum atau calon anggota DPR RI dari partai-partai yang masih terbilang new born dan belum memiliki massa yang cukup besar dalam kapasitas nasional juga memiliki jumlah anggota yang terbilang sedikit apabila dibandingkan dengan partai-partai besar pendahulunya seperti Partai Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan lain-lain.
Dalam dinamikanya, pengaturan parliamentary threshold telah mengalami beberapa perubahan sejak diberlakukan pertama kali pada tahun 2009 dan juga berulang kali didalilkan oleh pemohon dalam konteks judicial review di Mahkamah Konstitusi sebagai pasal yang dianggap merugikan hak berpolitik rakyat sebagaimana telah diatur dalam pasal 28 UUD 1945. Hingga saat ini, setidaknya ada lebih dari 5 putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan perihal permohonan pembatalan terhadap pasal parliamentary threshold sejak tahun 2009. Pasal ini mengalami perubahan hampir setiap 5 tahun sekali dan mengalami pengujian pasca pemberlakuannya.
Dalam perkara sebelum-sebelumnya yang memutuskan perihal serupa, seperti Putusan Nomor 03/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, Putusan Nomor 51/PUU-X/2012, Putusan No.56/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 20/PUU-XVI/2018, dan juga Putusan Nomor 48/PUU-XVIII/2020 yang dalam amarnya menolak permohonan pemohon dan mengabulkan sebagian ini menjadi indikasi bahwa pengaturan mengenai parliamentary threshold dianggap tidak melanggar konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dan secara konsisten memutuskan untuk memberikan kebebasan kepada legislatif dalam mengatur persentase ambang batas yang ingin ditetapkannya sebagai bentuk open legal policy yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi kepada lembaga pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah, DPR RI.
Di tengah gejolak politik yang kian memanas terkait dinasti politik, politisasi bansos, usia cawapres, serta permasalahan lain yang berkaitan dengan isu-isu politik yang seringkali diujikan judicial review, Mahkamah Konstitusi di tahun yang sama juga membuat putusan terkait parliamentary threshold dalam putusan nomor 116/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa pasal 414 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR” konstitusional bersyarat sepanjang diberlakukan untuk hasil Pemilihan Umum DPR RI 2024 dan tidak dilakukan pada hasil pemilu periode selanjutnya kecuali dilakukan perubahan terhadap besaran angka persentase ambang batas. Sehingga dapat diartikan bahwa persentase parliamentary threshold harus diubah untuk diterapkan pada hasil Pemilihan Umum 2029 mendatang.
Apabila dilihat dari segi historis, pemberlakuan parliamentary threshold sebagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum legislatif ini diberlakukan pertama kali pada saat Pemilihan Umum 2009 yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tepatnya pada pasal 202 yang menyatakan bahwa partai politik peserta pemilihan umum harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk dimasukkan dalam perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Menjelang pemilihan umum periode berikutnya, yaitu di pemilihan umum tahun 2014, pengaturan mengenai kebijakan parliamentary threshold tersebut diubah dengan menaikkan 1% dari persentase yang sebelumnya 2,5% menjadi 3,5% melalui Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 di pasal 208 yang secara eksplisit menyatakan bahwa partai politik peserta pemilihan umum harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling tidak atau minimal 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk dimasukkan dalam penentuan perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang kemudian dipertegas dalam pasal 209 ayat (1) bahwa partai politik yang tidak memenuhi ambang batas dalam pasal 208, maka tidak dapat disertakan dalam penghitungan perolehan kursi anggota legislatif di setiap daerah pemilihan.
Selanjutnya, di pra-Pemilu 2019, Undang-Undang Pemilihan Umum direvisi kembali dengan menambah persentase threshold sebesar 0,5% sehingga parliamentary threshold yang diterapkan pada pemilihan umum 2019 menjadi sebesar 4% yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum dalam pasal 414 yang menyatakan bahwa partai peserta pemilihan umum haruslah memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diturut sertakan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR RI.
Salah satu organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang kepemiluan dan demokrasi, Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) berpendapat bahwa penggunaan rumus ambang batas yang efektif dipelopori oleh salah satu ilmuwan politik asal Estonia, Rein Taagepera yang memberikan kalkulasi dengan memperhitungkan rata-rata besaran dapil (Daerah Pemilihan), jumlah dapil, dan kursi dalam empat pemilu DPR terakhir, menghasilkan ambang batas yang efektif yaitu sebesar 1%.
Berbagai ahli dari kalangan pengamat dan peneliti politik memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait besaran ambang batas yang dianggap proporsional. Menurut Auguzt Mellaz, threshold adalah syarat ambang batas yang harus dilampaui oleh partai politik untuk mengirimkan wakilnya ke parlemen. Philipus M. Hadjon mengungkapkan bahwa penerapan parliamentary threshold nyatanya telah bertentangan dengan asas persamaan hak dimata hukum atau equality before the law dan berpotensi menimbulkan kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang sebagai anggota legislatif.
Sebagai salah satu contoh, yaitu penerapan parliamentary threshold yang bisa kita jadikan sebagai perbandingan adalah pengaturan norma ambang batas parlemen yang diterapkan di negara tetangga kita, Filipina. Meskipun tidak sama persis dengan Indonesia, negara ini menerapkan besaran parliamentary threshold sebesar 20% dari calon anggota DPR yang mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Mekanisme yang digunakan oleh negara ini adalah dengan membagi total daftar pemilih dengan jumlah kursi yang tersedia, sehingga akan tampak berapa suara yang dibutuhkan untuk memperoleh 1 kursi di parlemen. Selain itu, Filipina juga memberi batasan yang konkrit untuk periode jabatan anggota DPR yaitu hanya selama 3 tahun untuk 1 periode dengan memberikan batasan maksimal 3 periode. Artinya, anggota DPR di Filipina menjabat maksimal selama 9 tahun. Ini tentu sangat kontras dengan Indonesia yang tidak mengatur batasan masa jabatan untuk anggota legislatif.
Implementasi parliamentary threshold sejak pertama kali digunakan pada tahun 2004 nyata-nyatanya kurang efektif digunakan untuk penyederhanaan partai di negara dengan sistem multipartai seperti Indonesia. Pemberlakukan parliamentary threshold dalam sistem pemilihan umum anggota DPR RI yang dijadikan sebagai dasar dalam penyederhanaan partai, perlu untuk dikaji ulang sebagaimana telah diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023. Kajian ulang yang dimaksud dalam putusan tersebut adalah untuk mengkaji dan menganalisis ulang terkait besaran persentase parliamentary threshold yang harus diimplementasikan dengan berpaku pada rumus baku yang efektif dan berkeadilan dalam pembentukan UU Pemilu yang akan dipakai dalam Pemilu 2029 mendatang supaya suara-suara dari rakyat tidak terbuang sia-sia.
Untuk memperkuat sistem multipartai di negara demokrasi seperti Indonesia ini, penulis berpendapat bahwa besaran parliamentary threshold perlu diturunkan dan dihitung melalui rumus perolehan suara dibagi dengan jumlah kursi parlemen sehingga diperoleh jumlah suara yang harus didapat oleh kandidat sebagaimana metode proporsionalitas terbuka yang diberlakukan saat pencalonannnya menjadi baku dan adil. Dengan begitu maka tidak akan ada suara yang terbuang dan kandidat yang terpilih adalah murni pilihan rakyat tanpa memandang partai tersebut telah melewati parliamentary threshold atau tidak. Sementara untuk penyederhanaan partai, sudah sepatutnya dilakukan oleh KPU RI sebelum pendaftaran partai politik dan pencalonan anggota DPR RI. Sebab apabila ingin menyederhanakan partai, pemangkasan harus diperketat melalui persyaratan partai di awal, melalui electoral threshold atau persyaratan tertentu sehingga dapat menyaring partai yang dapat turut serta dalam kontestasi pemilihan umum mendatang.
Komentar