Dalam tahapan demokratisasi tentu membutuhkan adanya pemilihan umum (Pemilu). Pemilu, sebagai alat utama demokrasi, berfungsi sebagai cara untuk menyebarkan kekuasaan dan kepemimpinan, serta sebagai cara untuk mengaktualisasikan hak dan kewajiban politik setiap warga negara. Demokrasi menggunakan prinsip universal seperti kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, kebebasan sipil, dan musyawarah mufakat dalam pelaksanaannya.
Pemilu 2024
merupakan pemilu yang cukup menarik dan berbeda dari pemilu sebelum-sebelumnya sejak diberlakukannya presidential threshold, karena telah menghadirkan 3 calon dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, ini
juga menjadi pemilihan keenam di era pasca reformasi yang diharapkan menjadi
momentum untuk menyelesaikan transisi demokrasi Indonesia menuju demokrasi yang
lebih matang dan terorganisir dengan baik di seluruh lapisan struktur politik
nasional. Terdapat beberapa langkah pembaruan strategis yang dapat dilakukan di
masa depan termasuk didalamnya perbaikan sistem rekrutmen penyelenggara pemilu,
perbaikan kerangka hukum pemilu, dan tata kelola pemilu yang mengutamakan
demokrasi dan nilai-nilai moral yang berintegritas.
Dalam
perkembangannya, media sosial telah menjadi sumber utama informasi bagi
masyarakat global di era digital yang semakin terkoneksi satu sama lain. Namun,
meskipun media sosial memiliki banyak manfaat, perlu kita garis bawahi juga
bahwa kehadirannya mampu membawa masalah besar, yaitu meningkatnya penyebaran hoaks
dan disinformasi yang dapat merugikan dan membingungkan masyarakat.
Penyebaran
hoax dan disinformasi ini nyatanya sangat membahayakan bagi demokrasi kita
terutama terkait fitnah dan ujaran kebencian yang dapat merugikan kontestan
politik pasca pemilu. Dilansir dari laman Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo), jumlah masalah hoaks terkait pemilu meningkat hampir 10
kali lipat sejak Juli 2023. Penyebaran hoaks dan disinformasi terjadi di banyak
platform media sosial, terutama di Facebook, yang dikelola oleh Meta. Bahkan
Kominfo telah mengajukan penghapusan 454 konten yang dianggap hoaks kepada
Meta.
Bahayanya hoax ini terkadang tidak hanya menyasar pada kontestan pemilu, namun juga menyasar pada lembaga-lembaga pemerintah terutama yang menangani urusan dan sengketa pemilu serta lembaga-lembaga yang berhubungan dengan politik pemerintah lainnya. Dalam negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis, hak kebebasan berpendapat merupakan mutlak dan tidak dapat dikesampingkan demi kepentingan politik. Namun perlu digarisbawahi bahwa kebebasan ini bukan serta merta tanpa adanya batasan.
Maka dalam hal ini, untuk mencegah terjadinya hoax dan disinformasi yang menyesatkan masyarakat, perlu dibuat kerangka hukum yang mengatur dan membatasi hoax dan disinformasi pasca pemilu 2024. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Topo Santoso, bahwa dalam kerangka hukum harus dipastikan bahwa larangan dan sanksi hukum harus diatur untuk pihak-pihak yang melanggarnya. Kerangka hukum ini harus disusun secara terstruktur dengan melingkupi beberapa prinsip, yakni tidak bermakna ganda dan jelas (clear), memudahkan (straightforward), mudah dipahami (intelligible), dan melingkupi seluruh unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis (include all electoral components, which are necessary to ensure the undertaking of democratic elections).
Selain itu, kerangka hukum pemilu juga harus mencakup mekanisme yang efektif untuk memastikan penegakan hukum pemilu dan penegakan hak-hak sipil dalam ranah penyebaran hoax dan disinformasi. Penegakan hak sipil dimaksudkan untuk melindungi hak berpolitik warga negara yaitu untuk memilih dan dipilih. Secara prinsip, kerangka hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, calon, dan partai politik berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang jika ada dugaan pelanggaran hak pilih mereka dan apabila terdapat hoax dan disinformasi yang nyata-nyatanya telah merugikan reputasinya.
Komentar