Hola readers!
Kehadiran politik kekerabatan di negara demokrasi seperti Indonesia sesungguhnya bukan fenomena baru di masyarakat lokal maupun nasional. Politik kekerabatan yang membangun dinasti politik di negara demokrasi dapat berakibat pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan politik yang menunjukkan kecacatan dalam representasi demokratis yang disebut dengan authority bear power. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Mosca bahwa setiap kedudukan sosial menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun,[1] bahkan dikala posisi politik sepatutnya terbuka bagi semua orang, namun kedudukan keluarga penguasa akan memperoleh keuntungan yang lebih besar seperti contohnya mendapatkan nomor urut 1 di kertas suara.
Tidak menampik kemungkinan fenomena diatas menjadi budaya apabila terus-menerus dibiarkan. Di dalam bentuk negara demokrasi yang ideal, sistem kekerabatan tentu bukan menjadi anjuran bagi peserta pesta demokrasi walaupun pada hakikat hak asasi manusia, tentu siapa saja boleh melibatkan diri dalam kontestasi politik dan pesta demokrasi. Namun, dengan adanya sistem kekerabatan yang dibiarkan dan dibudidayakan, dapat menutup partisipasi bagi masyarakat umum yang mungkin memiliki potensi dalam memperjuangkan jabatan-jabatan politik baik dalam tingkatan nasional maupun regional yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Apabila demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka sistem kekerabatan dalam politik nyata-nyatanya telah menciptakan pragmatisme dengan mendorong kerabat dan sanak saudara untuk turut serta bahkan diberi jabatan secara cuma-cuma tanpa adanya upaya hanya karena embel-embel ‘kerabat’.
Berkembangnya sistem kekerabatan dalam dinamika perebutan kekuasaan di lingkaran lokal sampai nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi itu sendiri menjadi sulit untuk diwujudkan. Sistem kekerabatan politik tumbuh subur dan terus dipupuk khususnya di daerah tentu melibatkan peran partai politik dan peraturan mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Oligarki yang tidak disadari menjangkiti partai politik di Indonesia telah menyebabkan mekanisme kandidasi dan rekruitmen pencalonan berjalan tidak adil di dalam tubuh partai politik itu sendiri. Yang terjadi selama ini adalah pencalonan kandidat oleh partai politik ditentukan oleh fungsionaris partai berdasarkan pada sistem kekerabatan, bukan melalui mekanisme yang demokratis dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga yang terjadi adalah pencalonan kandidat yang akan melaju berkompetisi dalam ajang pemilihan umum ini tidak disaring berdasarkan, kualifikasi, kompetensi, dan integritas dari calon legislatif maupun calon kepala daerah. Dengan dibiarkannya sistem kekerabatan yang membangun dinasti politik, tentu dapat berakibat pada matinya demokrasi.
Berdasarkan data Kemendagri, sebanyak 59 kepala daerah di Indonesia berhasil menurunkan kekuasaan dari suami kepada istri atau dari orang tua kepada anaknya. Keberhasilan para kepala daerah dalam mentransfer kekuasaan kepada istri, anak, adik, ipar, atau bahkan menantunya merupakan strategi baru guna mempertahankan kekuasaan keluarga dalam memegang jabatan di pemerintahan.[2] Angka yang cukup besar kalau kita lihat dari peta demografis Indonesia.
Menurut
historisnya, sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, sejak berlakunya UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah menjadi dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah/pilkada.[3]
Hal ini merupakan perwujudan dari demokrasi local dalam membangun good
governance.
Pada
umumnya, dinasti politik dibagi dalam 3 model.
[4]
1. Satu
keluarga memegang penuh kekuasaan dan menggumpal dalam satu lingkaran
kekerabatan serta dilakukan atas regenerasi keluarga yang sama.
2. Satu
keluarga dibagi dalam politik lintas kamar kekuasaan, ayah sebagai Bupati, anak
sebagai ketua DPRD, atau jabatan strategis lainya.
3. Dinasti lintas daerah, dimana ada setidaknya 2 politisi yang berkuasa di daerah yang berbeda, namun memiliki hubungan kekeluargaan.
Di era sekarang ini, sistem kekerabatan tampak sangat jelas dan kentara terjadi di Jawa Tengah contohnya, Walikota Solo saat ini merupakan anak dari Presiden RI yang sebelumnya juga menjabat sebagai Walikota Solo, Gibran Rakabuming yang juga sekaligus mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden RI untuk periode 2024-2029 mendatang. Ini menjadi bentuk model dinasti politik yang pertama dan ketiga dalam pembagian model yang telah disebutkan diatas, tidak tanggung-tanggung, selagi menjabat sebagai Presiden RI, selain meregenerasi kepada anaknya untuk memegang kekuasaan di daerah, menantunya juga menjabat sebagai kepala daerah atau walikota Medan. Ini secara nyata mempresentasikan model dinasti politik yang 3. Selain yang sudah disebutkan, masih banyak kepala daerah lain yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana.
Apabila dilihat dari umur kiprahnya di politik, tentu Gibran masih seumur biji jagung untuk memimpin daerah, namun berkat nama sang ayah, ia bahkan menang mengalahkan kandidat lain yang sudah berkiprah di pemerintahan bertahun-tahun. Tentu ini menunjukkan adanya keistimewaan atas dasar kekerabatan dan menimbulkan ketidakadilan. Sementara kita ketahui bahwa dalam UUD 1924 Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan hak berpolitik mencakup hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk menyatakan pendapat, dan hak untuk bergabung dengan partai politik. Namun dengan adanya praktik kekerabatan dalam politik, masyarakat umum yang memiliki kapasitas menjadi terhambat dalam kontestasi politik.
Pada hakikatnya, secara keseluruhan, penyelenggaraan sebuah negara yang demokratis memiliki prinsip kerakyatan dimana segala upaya semata-mata diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat itu sendiri sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi dan undang-undang. Idealnya sebuah negara diselenggarakan bersama rakyat dan melibatkan partisipasinya secara luas. Hal ini berarti keinginan rakyatlah yang menjadi tujuan paradigma dan parameter dalam bernegara untuk mengatur roda pemerintahan yang sejalan dengan prinsip demokrasi. Dengan ini, kepentingan yang didasari oleh elit politik local maupun nasional dapat dianggap tidak sejalan dengan prinsip dan konsep negara demokrasi.
Sejalan dengan pernyataan Lord Acton bahwa, power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupts absolutely. Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Oleh sebab itu, kita sebagai generasi muda penerus bangsa harus melek terhadap isu politik dan berani untuk menyuarakan kebenaran supaya pemerintahan yang absolut tidak berkuasa ditangan kekerabatan hingga membudidayakannya pada praktek nyata-nyata politik yang tidak adil dan sehat yang menguatkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Komentar