Isu penundaan pelaksanaan pemilihan umum (aka. Pemilu) kembali mencuat dan menggemparkan publik sejak dinyatakan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 757/Pdt. G/2022/PN Jkt. Pst. yang dibacakan pada hari Kamis, 2 Maret 2023 lalu. Akar dari kemunculan putusan tersebut berawal dari gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima, sebab Partai Prima merasa dirugikan atas tidak lolosnya partai tersebut dalam seleksi administrasi yang diadakan oleh KPU. Sementara itu, KPU akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan PN Jakarta Pusat tersebut.
Namun, jauh sebelum munculnya putusan ini, isu penundaan pemilu telah ada semenjak beredar sebuah foto yang memperlihatkan 3 tokoh diantaranya, Presiden Joko widodo, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Presiden Indonesia ke 4 Abdurrahman Wahid di media sosial Facebook. Dalam foto tersebut terdapat narasi "PILPRES 2024 DIBATALKAN ditunda sampai 2029". Dilansir dari laman keminfo mengenai disinformasi ini, setelah ditelusuri, klaim yang menyebutkan bahwa Pilpres 2024 dibatalkan dan ditunda sampai 2029 adalah tidak benar. Faktanya, Dikutip dari CNN Indonesia Komisioner KPU, Ilham Saputra menyebut ada wacana yang sedang digodok pemerintah dan DPR RI untuk mengundur pilkada serentak tahun 2024 ke tahun 2027. Wacana yang belakangan muncul adalah keserentakan pilkada pada 2024 digeser untuk diterapkan 2027 bukan 2029. Dikutip juga dari Detik.com Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi menegaskan Pemilu nasional yakni Pilpres dan Pileg tetap digelar di 2024 mendatang. Pembahasan perubahan ini hanya dikhususkan untuk Pemilukada yang semula rencananya ingin dibarengi dengan Pemilu nasional. Kesimpulannya, klaim tersebut adalah salah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya mewacanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 diundur bukan pilpres.
Kembali pada topik yang akan kita bahas kali ini, secara yuridis konstitusional, boleh nggak sih Pemilu itu ditunda? dan Bagaimana pengaturannya? Apabila nyata memang dapat ditunda, kemudian siapa yang berwenang dalam penundaannya?
Perlu kita semua cermati bahwa sesungguhnya secara yuridis konstitusional, pelaksanaan pemilihan umum merupakan amanat dari konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya dalam pasal 22E ayat 1 sampai 6. Dimana dalam pasal 22E ayat 1 telah disebutkan secara eksplisit bahwa, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.". Maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya pelaksanaan pemilihan umum merupakan wujud representasi dari negara demokrasi yang melaksanakan pemilihan umum sebagai ajang 5 tahunan sekali untuk memilih Presiden, DPR, MPR, DPD, DPRD, serta Kepala Daerah Tingkat 1 dan 2.
Dalam hal ini, lembaga yang diberi wewenang untuk mengadakan dan menyelenggarakan segala tahapan-tahapan pelaksanaan pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum atau KPU sebagai lembaga independen sebagaimana tersurat dalam pasal 22E ayat 5 yang menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Artinya bahwa Komisi Pemilihan Umum (aka. KPU) adalah lembaga independen yang bebas dari intervensi.
Dilansir dari laman hukumonline, terdapat suatu kondisi tertentu yang bisa menyebabkan terjadinya penundaan pemilihan umum. Penundaan pemilu pada dasarnya dimungkinkan dan sudah pernah terjadi. Dalam sebuah artikel Tunggu Putusan Pengadilan, KPU Tunda Lima Pilkada, telah membuktikan bahwa penundaan pemilihan umum itu ditetapkan oleh KPU karena adanya suatu alasan tertentu yang mengharuskan pelaksanaan pemilihan umum ditunda, dalam hal ini yaitu dengan menunggu putusan pengadilan yang sedang berjalan. Akibat dari hal tersbut, kemudian munculah suatu istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemilu lanjutan dilaksanakan dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi:
a. sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan;
b. gangguan keamanan;
c. bencana alam; atau
d. gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaran pemilu tidak dapat dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan “pemilu lanjutan” adalah Pemilihan Umum yang diselenggarakan guna melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan. Pelaksanaan pemilu lanjutan dimulai dari tahapan penyelenggaraan pemilu yang terhenti.
Sedangkan pemilu susulan dilaksanakan dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi:
a. kerusuhan;
b. gangguan keamanan;
c. bencana alam; atau
d. gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
Dalam hal yang ditetapkan sebagai pemilu susulan, dapat diartikan bahwa seluruh tahapan pemilu digelar. berdasarkan Undang-Undang, pemilu susulan dan pemilu lanjutan dilaksanakan setelah adanya penetapan penundaan pelaksaan pemilu.
Kemudian, siapakah yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilihan Umum? Penetapan penundaan ini dapat dilakukan oleh :
1. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;
2. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;
3. KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau
4. KPU atas usul KPU Provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa provinsi.
Tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dan ruang lingkup seperti apa dari masing-masing kondisi force majeure yang disebut dalam UU Nomor 8 Tahun 2012. Namun secara teknis, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota memungkinkan usul penundaan tahapan pemilu/pilkada (dalam kasus ini adalah kampanye) datang dari kepolisian karena pertimbangan gangguan keamanan.
Selain itu, ada juga sebutan ‘penundaan’ dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, dimana penundaan yang dimaksud ini dilakukan apabila hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar pada pemilihan gubernur, bupati, atau walikota. Jika saja hal ini yang terjadi, maka implikasinya adalah perpanjangan masa pendaftaran kandidat. Pengaturan dan penjelasan lebih lanjut bisa dipelajari dalam UU Pilkada untuk memastikan setiap tahapan pemilu di daerah yang dimungkinkan terjadinya penundaan.
Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Pemilihan Umum dapat ditunda apabila terdapat kondisi-kondisi seperti yang sudah disebutkan diatas. Dan konstitusi telah mengatur mengenai pelaksanaan pemilihan umum sebagai ajang rutin 5 tahunan sekali. Kemudian pihak yang memiliki wewenang untuk melaksanakan penundaan pemilihan umum dalam kondisi tertentu hanyalah Komisi Pemilihan Umu atau KPU.
Demikian informasi yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat!
Komentar