Langsung ke konten utama

Kebolehan Mantan Napi Korupsi Memeriahkan Kontestasi Pemilu Legislatif 2024 di Indonesia

    Korupsi nampaknya selalu menjadi agenda reformasi yang tidak henti-hentinya digalakkan di Indonesia. Sejak kejatuhan Era Suharto Tahun 1998 hingga saat ini, pemerintah selalu mengupayakan untuk memberantas tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi penyakit umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Menurut Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan bahwa, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia dalam perankingan Internasional. 

    Kasus korupsi seringkali dan marak terjadi dilakukan oleh para politisi yang menduduki baik pada tingkatan pejabat eksekutif, hingga legislatif. Baru-baru ini terkuak kasus korupsi yang dilakukan oleh 2 Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju bentukan Presiden Jokowi, Johnny G. Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informatika dan Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian. Melihat kondisi iklim politik pemerintahan di Indonesia yang memprihatinkan, tentu membuat penegakan hukum menjadi bergejolak. Selain aktor penegak hukum yang berkualitas, juga diperlukan instrumen hukum yang dibuat atas dasar pancasila dan mengandung politik hukum yang berintegritas. Politik dan pemerintahan adalah satu tubuh yang tak terpisahkan. Politik sebagai instrumen pembuat kebijakan publik, sementara pemerintahan adalah sarana pengimplementasiannya. Namun pergerakan politik dewasa ini acapkali membuat kita bergeleng-geleng karena lebih sarat akan blunderisasi daripada bernafas demokrasi. 

    Partai politik merupakan wadah dan wujud dari demokrasi. Rekruitmen calon politisi, kaderisasi, serta bekal sebagai wakil rakyat yang berintegritas dan amanah dimulai dari sini. Seleksi calon pemimpin bangsa diselenggarakan melalui partai politik. Hal ini sebagaimana kita ketahui dalam konstitusi Indonesia, Pasal 6A ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Dilanjutkan dengan pasal 19 pun menyebutkan hal yang sama terkait pemilihan umum DPR RI. Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa peran partai politik sangatlah penting untuk kemajuan demokrasi. 

    Awalnya pada tahun 2018, Komisi Pemilihan Umum a.k.a KPU telah berupaya melakukan langkah preventif dengan melarang mantan narapidana korupsi untuk mengajukan diri dalam pemilu legislatif yang dituangkan melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20 Tahun 2018 bahwa, “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.” 

    Namun hal tersebut justru menimbulkan protes bagi politisi yang merasa hak berpolitiknya terciderai sehingga mereka bergerak untuk mengajukan uji materiil di Mahkamah Agung Republik Indonesia.Yang kemudian uji materiil tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 46 P/HUM/2018 tertanggal 13 September 2018 lalu. Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20 Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku secara umum. 

    Dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, maka sia-sia sudah pencegahan yang dilakukan oleh KPU dan keran korupsi menjadi tak terbendung. Guna menyikapi putusan Mahkamah Agung sebelumnya, menjelang perhelatan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 mendatang, pada akhirnya KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD masing-masing dalam pasal 11 ayat (6) dan pasal 18 ayat (2) yang pada pokoknya menyatakan bahwa memperbolehkan bacaleg dengan status mantan narapidana korupsi tidak perlu melewati masa tunggu 5 tahun sejak dibebaskan dari rutan, dapat mencalonkan diri dalam ajang kontestasi legislatif apabila mereka mendapatkan hukuman pencabutan hak politik. Hal ini tentu saja menjadi sorotan bagi pegiat pemilu dan anti korupsi untuk membawanya kehadapan Mahkamah Agung untuk diuji materiil oleh mantan ketua KPK dan wakilnya, Abraham Samad dan Saut Situmorang.

    Menilik pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang, yang menyatakan bahwa partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan bakal calon legislatif (bacaleg) dalam pemilu. Sebagaimana pula dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2020, telah disebutkan maka partai politik memiliki hak untuk mengajukan bakal calon kepala daerah (bacakada) dalam pilkada. 

    Merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemilihan umum diatas, maka secara harfiah partai politik menjadi garda utama dalam perekrutan politisi dan menjadi tempat yang seharusnya mengadvokasi dan mengedukasi pentingnya anti korupsi untuk menciptakan kader-kader yang memiliki kepemimpinan berbasis integritas dan bebas dari money politic. Sehingga agenda pemberantasan korupsi dapat dimulai dari hulu, yaitu partai politik itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SISTEM POLITIK KEKERABATAN YANG MENGUATKAN DINASTI DALAM KONTES PEMILU DI INDONESIA

Hola readers!           Kehadiran politik kekerabatan di negara demokrasi seperti Indonesia sesungguhnya bukan fenomena baru di masyarakat lokal maupun nasional. Politik kekerabatan yang membangun dinasti politik di negara demokrasi dapat berakibat pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan politik yang menunjukkan kecacatan dalam representasi demokratis yang disebut dengan authority bear power . Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Mosca bahwa setiap kedudukan sosial menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, [1]  bahkan dikala posisi politik sepatutnya terbuka bagi semua orang, namun kedudukan keluarga penguasa akan memperoleh keuntungan yang lebih besar seperti contohnya mendapatkan nomor urut 1 di kertas suara.           Tidak menampik kemungkinan fenomena diatas menjadi budaya apabila terus-menerus dibiarkan. Di dalam bentuk negara demokrasi yang ideal, sistem kekerabatan tentu bukan menjadi anjuran bagi peserta p

THE UNITED STATES PRESIDENTIAL ELECTION MODEL

     U.S presidential contest is unique in the world because of the magnitude of the office, every presidential election is historical and impacts upon the rest of the world. The formal criteria for becoming president as set forth in article 11, Section I of the Constitution are threefold : natural born citizen, at least 35 years old, and a resident of the United States for 14 years. But the informal criteria are numerous and include political experience, personal charisma, fundraising, and audience adaptation.     Presidential contest extends beyond the traditional three-month campaign between Labor Day and November every four years. The contest has become continual and a matter of lifelong training and maneuvering. The right person is not just found but is created, demonstrated, and articulated to the American public. The strategies and tactics presidential candidates use to present themselves and to communicate with American public are of vital importance and are the focus of this c