CARUT MARUT POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SERTA PERLINDUNGAN BAGI MASYARAKAT HUKUM ADAT
Lahirnya undang-undang cipta kerja yang digadang-gadang sebagai reformasi regulasi dengan menggunakan metode omnibus law pada kenyataanya justru memunculkan berbagai kontroversi di Indonesia. Politik hukum dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja itu sendiri dikatakan untuk mempermudah investasi dan mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia, mereformasi peraturan perburuhan diantaranya mengubah beberapa pasal yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan menyederhanakan regulasi yang terkait dengan perizinan dan lingkungan hidup. Namun politik hukum yang positif tersebut tidak memberikan nafas segar bagi masyarakat umumnya bagi kalangan pegiat lingkungan hidup dan masyarakat hukum adat.
Undang-Undang Cipta Kerja telah mengharmonisasi dan sinkronisasi atas 79 undang-undang yang sebelumnya ada di Indonesia dan menyederhanakan beberapa regulasi. Terdapat sekitar 1.244 pasal yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang utamanya mengatur mengenai ketenagakerjaan, investasi, lingkungan hidup dan kemudahan berusaha. Dimana dalam pembentukannya ini menggunakan metode Omnibus Law yang dikenal dalam banyak Negara yang memiliki karakter hukum Anglo Saxon.
Politik Hukum dari Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja banyak menuai protes dari beberapa pegiat lingkungan hidup karena dinilai tidak berpijak pada perlindungan terhadap lingkungan hidup. Di dalam UU Ciptaker, izin lingkungan dihilangkan dan diintegrasikan ke dalam izin usaha. Integrasi tersebut telah memotong rantai birokrasi dengan mempersingkat waktu perizinan. Sumber Daya Alam (SDA) memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena sekitar 50% ekspor Indonesia didominasi oleh hasil dari pengelolaan SDA pada sektor migas, minerba, sawit mentah, karet, serta makanan. Maka dari itu diperlukan kontrol yang ketat terhadap segala bentuk pembangunan yang melibatkan lingkungan hidup.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari bunyi pasal tersebut dalam konstitusi telah mengindikasikan bahwa segala bentuk SDA sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab negara untuk mengelolanya demi kemakmuran rakyat. Namun praktiknya yang terjadi akibat dari legitimasi UU Ciptaker adalah justru SDA Indonesia dikuasai oleh oligard. Peran negara dalam menguasai SDA diperkuat dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Maka dari itu penting bagi negara untuk mengingat tujuan utama dari pengelolaan SDA dan tidak mempermudah pengelolaan SDA oleh pihak swasta yang bermaksud untuk memperkaya diri sendiri.
Secara keseluruhan pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian Indonesia disusun dan diusahakan demi kepentingan bersama. Dengan begitu sudah sepatutya keberlakuan UU Ciptaker ini menjadi tanggung jawab bersama untuk dikawal dan diawasi agar penerapannya tidak menabrak nilai-nilai konstitusi dan nafas dari demokrasi Pancasila dimana segala bentuk kebijakan pemerintah dilakukan guna mensejahterakan masyarakat.
Berbicara mengenai SDA tentu erat kaitannya dengan masyarakat adat. Masyarakat Hukum adat merupakan sahabat alam. Masyarakat Hukum Adat memiliki karakteristik diantaranya yaitu : Berbasis budaya, berlandaskan konsensus, dan menjaga lingkungan hidup. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal yang sangat peduli dengan lingkungan hidup dan menjaga keseimbangan alam. Mereka memiliki aturan-aturan yang ketat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, seperti aturan pengelolaan hutan, sungai, dan laut. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya peran masyarakat hukum adat dilibatkan dalam pengelolaan SDA di Indonesia.
Di sisi lain, kedudukan masyarakat hukum adat juga masih menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan, seperti minimnya perlindungan hukum dan hak-hak mereka dari pemerintah dan lembaga hukum, terutama dalam hal kepemilikan tanah dan sumber daya alam, serta masih adanya konflik kepentingan antara masyarakat adat dan pihak-pihak lain, seperti pengusaha dan pemerintah. Oleh karena itu, perlunya pengakuan dan perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat hukum adat menjadi sangat penting dalam konteks pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan. Hal ini terbukti dengan tidak disah-sahkannya RUU Masyarakat Hukum adat yang sudah masuk dalam prolegnas prioritas dalam 1 dekade. RUU Masyarakat Hukum Adat selalu kalah dengan kepentingan politik.
Keberadaan RUU Masyarakat Adat tampaknya menghantui para oligard yang takut apabila dilegitimasi, regulasi ini akan menjadi penghambat bagi mereka para korporasi besar dalam pembangunan dan investasi dan bertabrakan dengan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja. Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi mengatakan RUU Masyarakat Hukum Adat dibutuhkan untuk melindungi keberagaman masyarakat Indonesia karena pernah punya pengalaman kelam tentang politik penyeragaman. Pembangunan Nasional memang sebuah keniscayaan, namun keberadaan Masyarakat Hukum Adat tidak boleh kita abaikan karena kita adalah satu kesatuan Indonesia.
Keberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi semakin semrawut pasca putusan inkonstitusional bersyarat oleh MK dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Syarat ini diberikan oleh MK sepanjang dimaknai tidak dilakukannya perbaikan dalam 2 tahun. Menindaklanjuti putusan inkonstitusional bersyarat tersebut pemerintah melalui kekuasaan presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) pada tanggal 30 Desember 2022.
Tindakan presiden tersebut akhirnya dikritisi oleh banyak pakar hukum tata negara. Seperti Bivitri Susanti, Denny Indrayana, dan masih banyak pakar hukum tata negara lainnya. Tindakan penerbitan perppu atas kegentingan memaksa yang dikatakan dinilai menggenting-gentingkan keadaan tersebut dinilai serampangan karena tidak sesuai dengan prosedur penerbitan perppu sebab sebenarnya tenggat waktu perbaikan sebagaimana diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi masih ada hingga menjelang akhir 2023 dimana pihak yang berwenang melakukan perbaikan adalah pembentuk undang-undang atau legislator dalam hal ini tentu saja menjadi wewenang DPR RI. Dimana dalam hal ini cacat secara prosedural maka cacat pula secara material sehingga harus diperbaiki dari awal dengan tak lupa melibatkan pastisipasi masyarakat yang merupakan bagian prosedural paling utama dalam negara yang menganut demokrasi.
Melihat betapa semrawutnya regulasi Indonesia saat ini, implementasi, dan tumpeng tindih, disharmonisasi serta berbagai permasalahan lainnya, menjadi PR bagi kita semua sebagai generasi muda penerus bangsa untuk melek politik dan berperan dalam melakukan reformasi terhadap regulasi Indonesia yang lebih kuat, berdaulat, serta mengedepankan nilai-nilai humanis kemasyarakatan yang patuh hukum dan norma.
Komentar