Langsung ke konten utama

MEMBANGUN KESADARAN BAGI KAUM MILENIALS AKAN PENTINGNYA MEMPERTAHANKAN BAHASA INDONESIA DAN LITERASI DI ERA DIGITAL 4.0

 Dewasa ini, banyak masyarakat terutama pengguna media sosial dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya, seringkali mencampur-adukan bahasa asing dengan bahasa Indonesia, bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, bahasa daerah dengan bahasa asing, dan lain sebagainya. Begitulah anak muda era ini menjelma. Mereka bermaksud untuk kreatif dan inovatif namun keliru. Karena apabila penggunaan bahasa dalam sehari-hari dicampur-adukan, esensi dari bahasa asli itu sendiri akan luntur. Sehingga apabila diteruskan dan tidak dibenarkan dapat menciptakan adanya akulturasi bahasa di kalangan anak muda atau yang kita sebut sebagai generasi milenials.

Fenomena ini sering kita jumpai di berbagai platform digital seperti,Facebook, Instagram, Twitter, hingga Tik-tok. Tak sedikit orang merasa biasa saja dengan pencampuran bahasa yang dilakukannya. Sebagian sengaja melakukannya untuk hiburan, sebagian tidak menyadari kesalahannya, sebagian lagi melakukannya untuk ikut-ikutan trend. Bahasa yang sering kali disebutkan seperti, whiciz, worth it, annyeong, dll.

Maka dari itu penting untuk memberi bekal berbahasa yang baik dan benar sejak dini kepada masyarakat dengan bahasa utama yaitu bahasa nasional, dengan ini Bahasa Indoensia karena kita adalah warga negara Indonesia. Bahasa adalah nyawa bagi kehidupan sosial yang humanis, religius, dan empiris. Mengapa? Karena dengan bahasa, kita mampu mengutarakan,mengungkapkan, dan menyampaikan maksud, tujuan, opini, gagasan, serta argumentasi dari olah pikir alam sadar otak kita atas rangsangan masalah ataupun kejadian yang tampak di depan mata kita dan hidup dalam masyarakat. Atau dapat dikatakan pula bahwa bahasa adalah output dari kinerja otak manusia dan cara kita berinteraksi dengan orang lain melalui komunikasi. 

Bahkan, saat pertama kali manusia lahir dan mengintip malu-malu dunia yang indah ini, bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali didengar. Sepanjang perjalanan hidup, bahasa menjadi unsur terpenting dan senantiasa mengikat dalam berkomunikasi antar individu pun kelompok, baik yang hidup dalam suku bangsa serumpun maupun suku bangsa yang berbeda.

Setiap negara di dunia memiliki bahasa pengantar atau komunikan bagi warga negaranya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan warga lainnya di dalam negara tersebut atau biasa dikenal dengan bahasa pemersatu bangsa. Tak terkecuali, Indonesia. Indonesia yang kaya akan suku bangsa didalamnya, telah menghasilkan banyak bahasa daerah yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang berbeda-beda antar masyarakat lainnya berdasarkan letak geografis tempat tinggal dari suku yang mereka diami, juga memiliki bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.

Sejarah lahirnya bahasa pemersatu bangsa Indonesia terjadi pada saat Kongres Pemuda I pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda, seperti berikut :

“Kami, putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; 

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; 

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”

Dari ikrar Sumpah Pemuda baris ketiga itulah yang kemudian melahirkan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu antar banyaknya ras, agama, etnik dan suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Bahasa Indonesia memiliki beberapa kedudukan, yaitu :

1). Sebagai Bahasa resmi kenegaraan

2). Sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan

3). Sebagai penghubung tingkat nasional untuk berbagai kepentingan, dan

4). Sebagai pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi (Mulyati,2015: 17-18) dan (Alwi, dkk. 2010 : 1)

Berbicara tentang bahasa pastinya tidak akan jauh dari yang namanya literasi. Karena keduanya saling bertautan bak sahabat sejati. Lalu, apa sih literasi itu? Literasi ialah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi yang meliputi membaca, berbicara, menyimak, dan menulis dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya.(Elizabeth Sulzby,1986)

Berdasarkan pengertian literasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa literasi merupakan tolak ukur dari kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa di setiap aspek kehidupan nyata. Penguasaan literasi ini penting untuk dimiliki setiap orang dan semua kalangan, terutama kaum milenials. Karena kaum milenials sendiri adalah generasi Y yang lahir setelah generasi X yang mana kelompok ini merupakan anak-anak yang lahir pada tahun 1980andan lulus SMA di tahun 2000.(Millenials Rising:The Next Great Generation (2000)). Anak-anak ini lahir di era meledaknya perkembangan teknologi digital di seluruh penjuru dunia. Tak tertinggal, Indonesia.

Pesatnya perkembangan zaman, tidak menampik bahwa penting sekali untuk menjadikan literasi sebagai fondasi, dasar, acuan, bahkan bekal dalam memahami dan belajar mata pelajaran lain di luar mata pelajaran bahasa. Dalam setiap proses belajar , kemampuan mendapatkan ketrampilan-ketrampilan baru tergantung dari dua faktor, yaitu faktor internal dalam hal ini kematangan individu faktor eksternal seperti stimulasi dari lingkungan.”(Gould, Toni S., 1991. Get Ready to Read: a Practical Guide for Teaching Young Children at Home and in School, NY : Walker Company). Maka pemahaman akan berbahasa yang baik dan benar sesuai hakikatnya tidak akan tercapai apabila baik faktor eksternal maupun internalnya tidak memadai atau mendukung terciptanya ketrampilan dalam berbahasa.


Bahasa Indonesia merupakan dasar terpenting dalam berbahasa yang harusdikuasai oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Kehidupan ini bersifat dinamis dan progresif. Globalisasi dan Digitalisasi terus berkembang melampaui apa yang telah ada dan diketahui masyarakat luas saat ini. Melihat perkembangan dunia yang semakin pesat, tidak menyangkal kenyataan bahwa berbagai bahasa asing kemudian mulai bermunculan. Sebut saja seperti bahasa : Jepang, Inggris, Belanda, Mandarin, Perancis, Jerman, Arab, India, bahkan sampai Bahasa Korea juga, lho! Bukan hanya itu, beberapa bahasa asing juga dimasukkan dalam kurikulum satuan pendidikan di Indonesia. Tidak sampai disitu, dewasa ini di negara kita Indonesia tercinta juga telah berdiri banyak sekolah – sekolah dengan Kurikulum Internasional yang mewajibkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar di dalamnya. Kurikulum Internasional ini bahkan diajarkan sejak dari tingkat Pre-School atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Bukan hanya dalam sektor pendidikan, sektor industri juga memerlukan ketrampilan berbahasa asing. Karena kita ketahui bersama, Globalisasi tidak hanya terjadi di sektor pendidikan dan kebudayaan, melainkan hampir setiap sektor kehidupan. Globalisasi dan Digitalisasi telah membuat banyak investor asing memasuki Indonesia. Kaum kapitalis mulai berdatangan dengan membondong budaya kapitalismenya kedalam negara Indonesia. Tidak sedikit dari kebudayaan ini dianut dan ditiru oleh warga negara Indonesia.

Dengan berdatangannya para investor asing memang membuat perkembangan perekonomian Indonesia melesat cepat. Bahkan pernah digadang-gadang Indonesia akan menjadi negara maju untuk 10 tahun kedepan.Namun, tak bisa dipungkiri juga bahwa kedatangan para investor, selain membawa pengaruh yang baik untuk perekonomian negeri, juga memberi pengaruh dalam dunia bahasa. Pasalnya, beberapa perusahaan asing merekrut pegawai dengan persyaratan “Menguasai Bahasa Inggris Aktif, Menguasai Bahasa Mandarin lebih disukai”. Dan peryaratan-persyaratan lain yang sejenis. 

Dengan persyaratan demikian, mendorong Sumber Daya Manusia di Indonesia untuk memperdalam penguasaan bahasa asing agar mampu bersaing dalam kancah global.Akan tetapi, akan terjadi paradoks-paradoks dalam berbagai komponenkehidupan, termasuk bahasa. Bahasa Inggris, misalnya. Walaupun pemakaiannya semakin besar sebagai bahasa kedua, masyarakat suatu negara akan semakin kuat juga mempertahankan bahasa ibunya. (Naisbitt. 1991 : Global Paradox). 

Di Islandia contohnya, sebuah negara kecil di Eropa yang jumlah penduduknya sekitar 250.000 orang, walaupun mereka menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa kedua, negara ini masih mempertahankan kemurnian bahasa pertamanya dari pengaruh bahasa Inggris. Ini adalah contoh yang baik dan sangat patut untuk diterapkan di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.

Bahasa Indonesia tidak menutup diri dari hadirnya globalisasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kosakata baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dipengaruhi oleh penyerapan bahasa asing. Namun, meskipun banyak kosakata baru dari serapan bahasa asing, Indonesia tetap mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam kehidupan sehari-hari. Kita patut berbangga dengan bahasa Indonesia dan mengutamakan penggunaanya yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa? Karena Bahasa Indonesia kini telah memasuki negara-negara seperti Australia, Jepang,Inggris, China, dan Korea Selatan. Mereka memasukkan Bahasa Indonesia sebagai program studi di beberapa Universitas di negara tersebut. Bahkan, Presiden kita, Joko Widodo pernah mengisi kuliah umum di Universitas Hankuk Seoul, Korea Selatan kepada mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia-Malaysia pada tahun 2018. (Joko Susilo, Antara News : Presiden Jokowi beri kuliah umum di Universitas Hankuk Seoul (2018))

Globalisasi tidak dapat kita kesampingkan ataupun kita hindari. Era digital yang sedang terjadi dewasa ini juga tidak dapat kita lewatkan barang sekali. Kita harus hidup di dalamnya dan menjalani hari-hari dengan ditemani oleh berbagai teknologi digitalisasi. Jangan menjadi antipati terhadap apa yang terjadi. Jadikan Bahasa Indonesia sebagai aktualisasi, namun tetap harus mengembangkan diri dengan belajar Bahasa Asing. Dalam berinteraksi dengan lawan bicara, bahasa adalah identitas diri. Dengan berbahasa yang baik dan benar maka akan memberikan kesan bagaimana jati diri kita dihadapan lawan bicara kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SISTEM POLITIK KEKERABATAN YANG MENGUATKAN DINASTI DALAM KONTES PEMILU DI INDONESIA

Hola readers!           Kehadiran politik kekerabatan di negara demokrasi seperti Indonesia sesungguhnya bukan fenomena baru di masyarakat lokal maupun nasional. Politik kekerabatan yang membangun dinasti politik di negara demokrasi dapat berakibat pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan politik yang menunjukkan kecacatan dalam representasi demokratis yang disebut dengan authority bear power . Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Mosca bahwa setiap kedudukan sosial menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, [1]  bahkan dikala posisi politik sepatutnya terbuka bagi semua orang, namun kedudukan keluarga penguasa akan memperoleh keuntungan yang lebih besar seperti contohnya mendapatkan nomor urut 1 di kertas suara.           Tidak menampik kemungkinan fenomena diatas menjadi budaya apabila terus-menerus dibiarkan. Di dalam bentuk negara demokrasi yang ideal, sistem kekerabatan tentu bukan menjadi anjuran bagi peserta p

THE UNITED STATES PRESIDENTIAL ELECTION MODEL

     U.S presidential contest is unique in the world because of the magnitude of the office, every presidential election is historical and impacts upon the rest of the world. The formal criteria for becoming president as set forth in article 11, Section I of the Constitution are threefold : natural born citizen, at least 35 years old, and a resident of the United States for 14 years. But the informal criteria are numerous and include political experience, personal charisma, fundraising, and audience adaptation.     Presidential contest extends beyond the traditional three-month campaign between Labor Day and November every four years. The contest has become continual and a matter of lifelong training and maneuvering. The right person is not just found but is created, demonstrated, and articulated to the American public. The strategies and tactics presidential candidates use to present themselves and to communicate with American public are of vital importance and are the focus of this c

Kebolehan Mantan Napi Korupsi Memeriahkan Kontestasi Pemilu Legislatif 2024 di Indonesia

     Korupsi nampaknya selalu menjadi agenda reformasi yang tidak henti-hentinya digalakkan di Indonesia. Sejak kejatuhan Era Suharto Tahun 1998 hingga saat ini, pemerintah selalu mengupayakan untuk memberantas tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi penyakit umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Menurut Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan bahwa, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia dalam perankingan Internasional.       Kasus korupsi seringkali dan marak terjadi dilakukan oleh para politisi yang menduduki baik pada tingkatan pejabat eksekutif, hingga legislatif. Baru-baru ini terkuak kasus korupsi yang dilakukan oleh 2 Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju bentukan Presiden Jokowi, Johnny G. Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informatika dan Syahrul Yasin Limpo selaku Men