Langsung ke konten utama

POLEMIK SISTEM PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Presidential Threshold atau ambang batas presidensiil adalah suatu aturan nilai ambang batas persentase perolehan suara oleh partai politik dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 222 yang berbunyi, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya” 



    Tabel diatas merupakan acuan yang nantinya akan digunakan sebagai penentu partai pengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi nilai ambang batas dan berhak maju sebagai kandidat Capres dan Cawapres pada tahun 2024 mendatang apabila memenuhi Presidential Threshold sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu. 

    Namun nampaknya apabila melihat tabel tersebut, tidak satupun Partai Politik di Indonesia pada Pemilu tahun 2019 memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Pemilu yaitu sebesar 25% perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Dimana kalau kita lihat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (PEMILU)  tabel diatas, perolehan suara paling tinggi dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebesar 19,33% dimana angka tersebut juga tidak cukup menjangkau ambang batas yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Pemilu. 

    Melihat hal tersebut, maka nantinya akan ada beberapa partai yang berkoalisi untuk mengusung Capres maupun Cawapres pada Pemilu 2024 mendatang. Koalisi partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Walau demikian, koalisi bukanlah solusi. Karena setiap partai politik di Indonesia tentu membawa kepentingan politik masing-masing yang berbeda satu sama lain. 

    Selain itu, angka persentase ambang batas ini dirasa terlalu tinggi karena hal ini akan menutup keran bagi partai-partai baru dengan persentase perolehan suara rendah pada pemilu sebelumnya maka tidak dapat mengusung Capres maupun Cawapres padahal mungkin saja mereka memiliki kandidat yang bagus baik untuk Capres maupun Cawapres. Ketentuan Presidential Threshold tentu mereduksi hak-hak warga negara untuk berpolitik sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945. 

    Untuk itu penulis berpendapat bahwa Pemilihan Calon Presiden maupun Wakil Presiden di Indonesia haruslah memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia dimana pemeberlakuan Presidential Threshold harus dikurangi nilai persentasenya dan mengamandemen UUD 1945 dengan memberikan hak bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden yang potensial dan didukung oleh masyarakat Indonesia melalui jalur mandiri diluar partai politik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SISTEM POLITIK KEKERABATAN YANG MENGUATKAN DINASTI DALAM KONTES PEMILU DI INDONESIA

Hola readers!           Kehadiran politik kekerabatan di negara demokrasi seperti Indonesia sesungguhnya bukan fenomena baru di masyarakat lokal maupun nasional. Politik kekerabatan yang membangun dinasti politik di negara demokrasi dapat berakibat pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan politik yang menunjukkan kecacatan dalam representasi demokratis yang disebut dengan authority bear power . Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Mosca bahwa setiap kedudukan sosial menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, [1]  bahkan dikala posisi politik sepatutnya terbuka bagi semua orang, namun kedudukan keluarga penguasa akan memperoleh keuntungan yang lebih besar seperti contohnya mendapatkan nomor urut 1 di kertas suara.           Tidak menampik kemungkinan fenomena diatas menjadi budaya apabila terus-menerus dibiarkan. Di dalam bentuk negara demokrasi yang ideal, sistem kekerabatan tentu bukan menjadi anjuran bagi peserta p

THE UNITED STATES PRESIDENTIAL ELECTION MODEL

     U.S presidential contest is unique in the world because of the magnitude of the office, every presidential election is historical and impacts upon the rest of the world. The formal criteria for becoming president as set forth in article 11, Section I of the Constitution are threefold : natural born citizen, at least 35 years old, and a resident of the United States for 14 years. But the informal criteria are numerous and include political experience, personal charisma, fundraising, and audience adaptation.     Presidential contest extends beyond the traditional three-month campaign between Labor Day and November every four years. The contest has become continual and a matter of lifelong training and maneuvering. The right person is not just found but is created, demonstrated, and articulated to the American public. The strategies and tactics presidential candidates use to present themselves and to communicate with American public are of vital importance and are the focus of this c

Kebolehan Mantan Napi Korupsi Memeriahkan Kontestasi Pemilu Legislatif 2024 di Indonesia

     Korupsi nampaknya selalu menjadi agenda reformasi yang tidak henti-hentinya digalakkan di Indonesia. Sejak kejatuhan Era Suharto Tahun 1998 hingga saat ini, pemerintah selalu mengupayakan untuk memberantas tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi penyakit umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Menurut Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan bahwa, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia dalam perankingan Internasional.       Kasus korupsi seringkali dan marak terjadi dilakukan oleh para politisi yang menduduki baik pada tingkatan pejabat eksekutif, hingga legislatif. Baru-baru ini terkuak kasus korupsi yang dilakukan oleh 2 Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju bentukan Presiden Jokowi, Johnny G. Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informatika dan Syahrul Yasin Limpo selaku Men