Di dalam kamar aku masih terus
memandangi daun teh yang kian lama kian layu dan pudar hijaunya sama seperti
jiwaku. Masih teringat jelas kenangan musim liburan lalu. Dimana aku bertemu
dengan seseorang yang membuatku merasa nyaman,hangat, dan aman. Saat itu aku
menginap di sebuah Villa milik saudaraku yang bertempat tak jauh dari kebun the
daerah Puncak,Bogor,Jawa Barat. Hembusan angin segar menerpaku di pagi hari
saat aku tepat sampai dari perjalanan melelahkanku. Udara disini membuatku
bersemangat untuk terus hidup.
Dengan senyum yang mengukir di wajah
ovalku, aku berjalan-jalan di kebun teh. Menghirup udara. Menghembuskannya
melalui mulut. Menghirup lagi. Dan menghembuskannya lagi. Huaaaaaah jiwaku
terasa bebas disini. Aku menyaksikan bentang alam yang ada di depan mataku. Tak
henti-hentinya aku memanjatkan rasa syukurku kepada Tuhan yang telah
menciptakan Alam Semesta yang begitu menakjubkan terbentang di hadapanku kini.
Aku terus berjalan sambil bernyanyi
dan menyentuh daun-daun teh di setiap langkahku yang melewatinya. Aku
memejamkan mata. Merasakan hembusan oksigen yang memasuki hidungku, berjalan
melewati bronkus, lalu bronkeolus, hingga sampai di alveolus dalam paru-paruku.
Lega. Sejuk sekali.
Ku buka mataku perlahan dan aku
melihat seorang lelaki bertubuh tinggi. Berkulit putih. Bermata biru. Ya Tuhan!
Dia… blasteran Indo. So handsome. Aku dan dia masih saling menatap. Hingga aku
tersadar dan aku hendak melewatinya, ia justru menghadangku. Aku ambil kanan.
Dia kanan. Aku ambil kiri dia juga kiri. Dan kemudian kita sama-sama tertawa.
“Silahkan nona.” Pada akhirnya dia menyadari kegugupanku dan membiarkan aku lewat.
Aku kembali ke Villa untuk membereskan
koperku dan sarapan. Ternyata Bi Inah –Pembantu sekaligus Tukang bersih-bersih
Villa- telah menyiapkan banyak makanan khas Bogor. Penat belajarku saat di kota
metropolitan Jakarta kini jadi hilang. Aku pun makan dengan lahap. Papaku
tersenyum melihatku bersemangat.
Setelah sarapan aku keluar dari Villa
untuk berjalan-jalan di Danau yang terletak tak jauh dari Villa tempatku
menginap. Aku berjalan kaki sambil melihat-lihat pemandangan di sekitarku. Aku
sampai di tepi danau. Tanganku keluar dari saku dan mulai menyentuh air danau
yang dingin sekali. Aku menggigil. Tadinya aku mau bermain air tapi ternyata
aku lupa memakai jaket dan pasti akan terasa dingin. Vian sahabatku di Jakarta
memPING BMku. “Jangan lupa kasih hasil jepretan loe disana ya? Pasti objek buat
ekskul photography kita bakal bagus kali ini. Good Luck Beibi Anya.” Aku
membalasnya. “Iya beibi Vian makasih yaa :*”
Aku segera mengeluarkan kameraku dan
mulai memfoto danau dari berbagai sisi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan
karena di tahun ajaran baru nanti hasil
dari berbagai ekskul di sekolah kami akan dipamerkan kepada adek-adek
kelas nanti. Aku berjalan semakin maju untuk mengambil gambar tanpa melihat
kebawah. Dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
Mataku terbuka saat seseorang
memberiku nafas buatan dan kini aku berbaring di tepi danau dengan kondisi
badan yang basah kuyup. Mataku tampak samar-samar. Aku batuk dan mengeluarkan
air danau yang tak sengaja ku telan sewaktu aku tenggelam di danau. Mataku
semakin jelas dan aku melihat seorang lelaki yang tadi sempat berpapasan di
Kebun Teh Mekarayu. “Hei. Apa kamu sudah sadar?” katanya sambil
melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. “Syukur deh akhirnya kamu sadar.”
Ucapnya lagi. Hei! Suaranya tidak berlogat Barat. Aku bangun dan memberi senyum
simpul padanya. “Makasih ya udah nyelametin aku. Kalo nggak ada kamu mungkin
aku udah mati tenggelam di sana” ujarku sambil menundukkan kepala. Ia menjabat
tanganku, “Namaku Kevin. Kamu?”. “Aku Anya. Ya udah aku duluan ya.”
Setelah berpamitan padanya aku
kembali berjalan-jalan untuk mencari objek foto yang lain. “Anya!” Ia berteriak
memangilku sambil berlari ke arahku. “Kamu pendatang kan? Emangnya kamu udah
tau jalan-jalan disini? Aku anter yuk.” Aku pun mengangguk menyetujui ajakannya
dan berjalan di sampingnya. Aku terdiam. Rasanya kosakata dalam otakku telah
habis. Padahal biasanya aku selalu cerewet walaupun dengan orang yang baru aku
kenal. Tapi? Mengapa sekarang berbeda? Dia menceritakan tempat-tempat di sini.
Gaya bicaranya seperti Tour Leader. Diam-diam aku memfotonya. Tapi dia
menyadarinya,”Hayoo mengambil gambar tanpa ijin ada undang-undangnya lho.” Aku
terkekeh.
“Ya udah. Kak Kevin aku boleh minta
gambar kakak nggak?”
“Satu jepretan 100 ribu ya?”
“Ih kakak perhitungan deh”
“Tadi kamu manggil apa? Kakak? Sok
tau kamu. Darimana kamu tau kalo aku lebih tua dari kamu?”
“Lho? Kamu lupa ya? Tadi waktu kamu
cerita kan kamu udah bilang kamu kelas 12.”
“Terus kalo udah kelas 12 udah
pasti lebih tua dari kamu gitu?”
“Iyadong.” Aku menjulurkan lidah.
“Idih sok tau. Aku ikut program
Akselerasi tau. Welk” Dan giliran dia yang menjulurkan lidah.
Aku malu karena sudah asal
menyimpulkan. Ah Anya kenapa kamu begini?
Nggak biasanya deh. Aku berbicara dalam hati merutuki kebodohanku. Aku
menundukkan kepala karena malu. Sedangkan ia tertawa puas. Ia mencubit
pipiku,”Kamu lucu banget sih.” Ya Tuhan kenapa jantungku tiba-tiba berdegup
kencang seperti ini? Apa ini namanya cinta pada pandangan pertama? Entahlah.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menyingkirkan pemikiranku yang semakin
konyol.
Tak terasa hari mulai sore. Udara
kembali dingin. Matahari pun semakin tenggelam. Kevin mengantarkanku kembali ke
Villa. “Udah nyampe kok, Kev. Di sini. Makasih ya?” Ia menjawab diikuti dengan
senyuman. “Ia sama-sama. Kalo mau jalan-jalan ke tempat yang laen lagi aku siap
anter kamu. Kamu hubungin nomerku yang tadi aja. Ntar aku jemput” Ia
menawarkanku panjang lebar. Aku mengiyakannya.
Di hari-hari berikutnya kami menjadi
lebih akrab dan dekat. Kami pun sering berjalan-jalan bersama. Bercerita,
tertawa bercanda bersama. Bahkan makan bersama juga pernah. Ia mengajakku ke
rumahnya dan memperkenalkanku pada ibunya. Ibunya sangat ramah padaku. Aku
mencicipi masakan ibunya yang sangat lezat. “Sebelumnya Kevin belum pernah lho
nak membawa perempuan main ke rumah.” Hah? Belum pernah? Aku yang pertama dong?
Aku tertegun mendengar pengakuan ibunya. Tapi aku tetap tersenyum sambil memakan masakan ibunya Kevin.
3 minggu berlalu. Aku berpamitan
pada Kevin dan ibunya untuk kembali ke kota Metropolitan tempat tinggalku.
Kevin memberiku sepucuk daun teh padaku dan mengatakan. “Daun teh ini
melambangkan Keaslian,Kesegaran, dan Kesucian Alam. Begitu juga dengan rasaku
kepadamu. Hanya satu pucuk yang melambangkan satu hati yang tulus untukmu yang
indah dan sejuk, Anya. Aku pasti akan sangat merindukanmu. Apabila kita
berjodoh. Kita pasti akan bertemu.” Sungguh menyentuh hatiku. Aku pun
memberikannya sepucuk daun teh yang sama.
Sudah 2 tahun berlalu, daun teh itu
masih tersimpan dalam bingkai kecil dalam kamarku. Dan aku masih menjaga dan
merawatnya walau sudah semakin layu. Aku terus memberi pengawet untuk
mengawetkannya. Entah mengapa aku masih yakin kalau akan bertemu dengan Kevin
lagi. Walaupun dalam 2 tahun terdapat hari-hari liburan,ayahku mengajak liburannya di Jogja walau aku terus mengajaknya ke Puncak,Bogor. Ugh.. aku pun terus
bersabar.
Aku sudah kuliah sekarang. Aku
masuk ke salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Dan aku mengambil jurusan
Ilmu Pertanian karena aku mengingat Kevin dan alamnya. Di masa Orientasi aku
berulang tahun. Aku di kerjai oleh senior-seniorku. Aku di suruh mencari senior
yang bernama Kevin setelah aku disuruh menceritakan kisah cinta pertamaku. Dan
mereka menertawakan ceritaku.
Aku pergi ke Ruang Dekan dan
meminta Daftar Nama Mahasiswa di Universitas ini. Kubuka dari halaman ke
halaman dan aku menemukan satu nama yang sangat familiar bagiku. Satu nama yang
membuat jantungku berdegup kencang. Satu nama yang sangat aku rindukan. Kevin
Lukas. “Terima kasih,Pak” aku mengembalikan buku itu pada Pak Joko selaku Dekan
di Fakultasku dan berlari bertanya sana-sini. “Kamu tau Kevin Lukas nggak?”
“Kamu kenal mahasiswa yang bernama Kevin Likas nggak?” “Kamu tau dia dimana?”
itulah pertanyaan yang aku lontarkan pada setiap orang yang ku lewati.
Hingga pada akhirnya ada seseorang
yang tau dan menunjukkan bahwa Kevin Lukas ada di Perpustakaan aku langsung
berlari ke perpustakaan. Aku mencari dari setiap slot ke slot yang lain dan deg
aku menemukannya. Dari jarak sekitar 1 meter aku memperhatikan orang tersebut
dengan teliti. Dan benar saja. Itu Kevin yang sangat aku rindukan. Tak terasa
air mataku menetes. Kevin masih mencari buku hingga beberapa detik kemudian ia
menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, lalu menoleh padaku. Ia tak kalah
syoknya denganku. Ku lihat matanya berkaca-kaca. Ia menjatuhkankan buku yang
dibawanya lalu berlari memelukku.
Sungguh di luar dugaanku. Aku
bertemu dengan Kevin? Benar-benar Kevin? Terima kasih Tuhan. Dia mengatakan
sesuatu padaku. “Sepucuk daun teh itu benar-benar terjadi. Nyata. Aku bertemu
denganmu lagi. Dan kamu harus tau satu hal Anya.” Ia menghentikan kata-katanya
dan melepaskan pelukannya. Menggenggam erat tanganku lalu mengecup keningku.
“Setelah kembalinya kamu ke Jakarta, tak ada satupun yang menggantikanmu di
hatiku. Aku juga sengaja kuliah di Jakarta untuk bertemu denganmu. Sebenarnya
aku mendapat beasiswa kuliah di Jerman. Tapi aku menolaknya. Aku ingin bertemu
denganmu. Aku sangat merindukanmu, Anya!” Aku tak bisa berkata-kata. Hanya air
mata yang keluar. Iya Kevin. Aku juga
sangat merindukanmu.
Komentar